Sumber ilustrasi: mojok.co |
Oleh : Taufan Adi P*
Halaman sebelumya.. Saat peneliti
bertanya pada narasumber tentang pantangan pernikahan, narasumber menegaskan
bahwa
pantangan ini merupakan
bentuk penghormatan kepada tokoh babad desa. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pantangan ini kedudukannya lebih kuat daripada aturan agama yang mayoritas Islam di sana. Karena masyarakat terus
mempercayai pantangan dan menjalankannya, walaupun mereka tahu sebenarnya dalam Islam tidak ada batasan
dalam pernikahan, kecuali beda agama maupun
memiliki ikatan sedarah.
Proses yang sudah terjadi demikian kemudian dapat
dikatakan
bahwa pantangan
ini terus melekat pada masyarakat sekitar karena masyarakat meyakini dan melihatnya langsung walaupun mayoritas dalam
masyarakat menjadi kepercayaan yang berhembus dari mulut ke mulut.
Kepercayaan yang terus mengakar pada desa Golan dan Mirah dipicu oleh sumpah
yang diucapkan oleh Ki Honggolono
menjadikannya
pantangan
yang
diyakini dan dipercaya hingga saat ini sehingga pantangan tersebut memiliki
kedudukan yang objektif dalam masyarakat setempat.
Pada transisi antara subjektif ke objektif, Berger berpendapat bahwa hal ini disebut objektivasi di mana digunakannya produk- produk aktivitas dalam sebuah interaksi sosial
dengan intersubjektif yang dilembagakan atau telah mengalami proses intitusional (Berger,
1991: 4).
Di dalam objektivasi, terdapat perjanjian atau kesepakatan bersama dalam
masyarakat. Dalam sejarah awalnya di mana pantangan ini muncul sebenarnya sudah ada objektivasi, yakni ide dari tokoh
babad desa yakni sumpah Ki
Honggolono. Setelah
sumpah itu terucap, masyarakat desa Golan
dan Mirah
sepakat untuk mengikuti pantangan tersebut hingga saat ini.
Ki Honggolono mampu mempengaruhi desa Golan dan
Mirah
dengan sumpahnya karena memiliki kanoragan di mana kekuatan tersebut membuat sabda dan
sumpahnya dapat dipercaya oleh masyarakat. Setelah
ditanamkan oleh
masyarakat pada masa lampau, kepercayaan ini kemudian berlanjut pada masa kini
yang membentuk regenerasi kepercayaan atas pantangan pernikahan
tersebut.
Dalam proses pewarisan kepercayaan ini Berger menyebutnya sebagai sebuah legitimasi. Berger mengartikan legitimasi sebagai sebuah proses dalam membenarkan serta menjelaskanmakna-makna objektif yang ada sehingga individu yang
tidak terlibat
dalam proses awal pembentukan
makna objektif
tersebut
bersedia menerimanya sebagai sesuatu yang bermakna (Samuel, 2012).
Nantinya makna objektif mengenai pernikahan bisa diaktualisasikan
secara lebih
lanjut oleh masyarakat. Proses legitimasi
yang disebut Berger ini
kemudian dijalankan oleh masyarakat itu sendiri.
Proses dari aktualisasi pengalaman mengenai
pantangan pernikahan bisa diingat bersama secara objektif
karena dapat dikomunikasikan melalui bahasa dan interaksi, yakni saat masyarakat desa Golan dan Mirah membagikan ingatan
atau pengalamannya mengenai pantangan ini. Pengalaman bersama ini nantinya akan bersifat lebih objektif yang memiliki arti tidak selalu utuh dalam
pembentukan
ingatannya.
Contohnya saat narasumber mengatakan bahwa kematian akibat pantangan pernikahan tidak pernah dilihatnya secara langsung namun mampu untuk mengendap dalam pikiran melalui rumor yang pernah beliau dengar sebelumnya.
Akibat dari pengalaman bersama inilah
timbul tindakan
bersama yang sebelumnya disetujui bersama. Contohnya adalah masyarakat desa Golan
dan Mirah yang
jarang melakukan
interaksi antar
wilayah.
Hal ini didukung oleh
pernyataan
dari
narasumber ketika sedang ada musyawarah
kecamatan mengenai masjid Tiban yang dilaksanakan di desa Mirah. Masyarakat
desa Golan tidak
menghadiri rapat tersebut karena alasan agar musyawarah tersebut berjalan seperti
yang seharusnya dan menjaga dari hal-hal yang tak dapat dibayangkan.
Berger juga menyatakan bahwa sosialisasi diperlukan agar objektivasi tidak
menemui kegagalan. Pernyataan ini sangat sejalan dengan pantangan pernikahan di desa Golan dan Mirah yang sudah memulai sosialisasi sejak dahulu agar pantangan ini tidak dilanggar oleh masyarakat baik desa Golan dan Mirah.
Sosialisasi memiliki peran penting untuk menegaskan bahwa pantangan pernikahan perlu
digalakkan supaya tidak timbul
korban nantinya. Sebab itulah
sosialisasi berguna sebagai sarana pendidikan bagi generasi penerus supaya dapat memahami makna dari pantangan tersebut dalam masyarakat baik desa Golan dan Mirah.(*)
*Penulis adalah Ketua Biro Intelektual dan Infokom PMII Rayon Al Biruni
0 Komentar